Lihat Semua : artikel
Menakar Subsidi BBM: Siapa yang Sebenarnya Berhak Mendapatkan Manfaat?
Dipublikasikan pada 12 days ago , Redaktur: Andrean W. Finaka, Riset : Redaksi SohIB / Desain : Redaksi SohIB / View : 122 |
Rabiatul Adawiah
Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan
Pagi itu, di sebuah desa kecil di pinggiran kota, Pak Tono duduk di warung kopi dengan secangkir teh hangat di tangannya. Di sekelilingnya, beberapa tetangga berdiskusi hangat mengenai harga BBM yang kembali naik. “Wah, pemerintah lagi-lagi naikin harga BBM. Padahal kita ini yang hidup pas-pasan tambah berat bebannya,” keluh salah satu dari mereka. Pak Tono hanya diam, mendengarkan dengan seksama. Seperti biasa, ia jarang mengeluh di depan
orang lain. Sebagai buruh tani hidupnya sudah cukup berat dan baginya harga BBM hanyalah satu dari sekian banyak hal yang ia harus terima sebagai bagian dari hidup.
Pak Tono tidak punya kendaraan bermotor. Setiap hari, ia berjalan kaki ke sawah, bekerja di bawah terik matahari. Kadang-kadang, ia naik ojek motor jika sawah yang harus ia garap cukup jauh. Baginya, harga BBM tidak terlalu mempengaruhi kehidupannya secara langsung. Tapi ia mengerti satu hal, ketika harga BBM naik maka harga-harga lain juga akan ikut naik. Ongkos ojek naik, harga beras naik, bahkan harga bahan-bahan pokok di warung Bu Lastri dan tetangganya juga ikut melonjak. “Harga BBM naik, semua ikut naik,” begitu pikir Pak Tono.
Di sisi lain kota, di sebuah rumah besar duduklah Pak Jaka di balik kemudi mobil mewahnya. Setiap hari, ia mengendarai mobil tersebut ke kantornya yang terletak di pusat kota. Sebagai pengusaha sukses Pak Jaka tidak terlalu khawatir dengan naik-turun harga BBM. Meskipun harga naik, ia tahu bahwa subsidi pemerintah masih membuat BBM lebih murah dibandingkan harga internasional. Bagi Pak Jaka, yang memiliki beberapa mobil dan sering bepergian BBM murah adalah kenyamanan yang ia nikmati sehari-hari.
Malam itu, ketika Pak Tono pulang ke rumah setelah bekerja di sawah ia merenung. “Kenapa ya kita yang hidup sederhana yang jarang pakai BBM kok ikut kena dampaknya? Bukannya subsidi BBM itu harusnya buat orang-orang seperti kita, yang penghasilannya pas pasan?” Ia tidak tahu jawabannya. Yang ia tahu, meskipun ia jarang membeli BBM ia tetap merasakan dampaknya di setiap sudut kehidupannya.
Dari cerita tersebut Pak Tono dan Pak Jaka adalah dua orang dari dua dunia yang sangat berbeda, namun keduanya hidup dalam sistem subsidi BBM yang sama. Subsidi BBM telah lama menjadi kebijakan yang digadang-gadang oleh pemerintah untuk membantu rakyat, terutama yang berpenghasilan rendah, seperti Pak Tono. Namun, kenyataannya sistem subsidi ini tampaknya lebih banyak menguntungkan orang seperti Pak Jaka yang mampu membeli banyak BBM karena memiliki kendaraan pribadi dan mobil mewah.
Di kota-kota besar banyak mobil mewah melaju di jalanan untuk mengisi bahan bakar di stasiun pengisian dengan harga yang disubsidi oleh negara. Seandainya pemilik mobil-mobil itu seperti Pak Jaka, mungkin tidak terlalu memikirkan dari mana subsidi itu berasal. Yang mereka tahu harga BBM di Indonesia jauh lebih murah dibandingkan negara-negara tetangga. Mereka tidak perlu khawatir tentang biaya perjalanan jauh apalagi ketika bepergian dengan kendaraan pribadi setiap hari.
Sebaliknya, di pedesaan orang-orang seperti Pak Tono yang hidup dengan penghasilan seadanya jarang menggunakan BBM. Mereka mengandalkan sepeda, berjalan kaki, atau naik transportasi umum yang juga tidak terlalu sering. Bagi mereka subsidi BBM hanya terasa ketika harga-harga kebutuhan pokok mulai naik sebagai dampak dari naiknya harga energi.
Pak Tono mulai berpikir lebih dalam, terutama setelah mendengar berita di televisi dan juga membaca di website www.kemenkeu.go.id bahwa pemerintah terus memberikan subsidi
BBM yang jumlahnya triliunan rupiah setiap tahun. “Uang sebanyak itu buat siapa?” pikirnya. Tentu, pemerintah selalu mengatakan bahwa subsidi BBM adalah untuk membantu rakyat kecil, agar harga energi tetap terjangkau. Tapi siapa yang sebenarnya menikmati subsidi tersebut?
Faktanya, menurut ungakapan Presiden Jokowi pada laman website www.kemenkeu.go.id sebagian besar dari subsidi BBM di Indonesia justru dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas, bahwa lebih dari 70% subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil pribadi. Mestinya uang negara itu harus diprioritaskan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu.
Pak Tono dan orang-orang sepertinya mereka jarang sekali membeli BBM. Mereka hanya merasakan dampaknya ketika harga-harga barang naik akibat kenaikan harga BBM. Uang negara yang seharusnya bisa digunakan untuk memperbaiki infrastruktur desa, membangun sekolah, atau meningkatkan fasilitas kesehatan justru habis untuk mensubsidi konsumsi energi orang orang kaya.
Di sisi lain, pemerintah berada dalam dilema. Subsidi BBM sudah menjadi bagian dari keseharian masyarakat Indonesia selama puluhan tahun. Ketika pemerintah mencoba mengurangi atau menghapus subsidi, protes besar seringkali terjadi. Masyarakat merasa bahwa kenaikan harga BBM langsung mempengaruhi kesejahteraan mereka, meskipun sebenarnya yang paling terpengaruh adalah kelas menengah dan atas yang konsumsi BBM-nya lebih besar.
Pak Tono ingat protes besar di ibukota beberapa tahun lalu ketika pemerintah mencoba menaikkan harga BBM. Ia melihat di televisi ribuan orang turun ke jalan dengan membawa spanduk dan berteriak menentang keputusan tersebut. Bagi Pak Tono, meskipun harga BBM naik ia tidak merasakan dampaknya secara langsung karena ia jarang sekali membeli BBM. Tapi ia tahu bahwa kebanyakakan orang terutama di kota, yang merasa sangat terganggu oleh kenaikan harga tersebut.
Di sisi lain, Pak Jaka yang lebih mampu secara finansial, merasa bahwa subsidi BBM adalah “hak” yang sudah ia nikmati selama bertahun-tahun. Ia merasa wajar jika negara membantu menjaga harga BBM tetap murah. Tetapi, Pak Jaka juga tahu bahwa anggaran negara terbatas, dan ia mulai mempertanyakan apakah subsidi ini benar-benar berkelanjutan dalam jangka panjang.
Sore hari, setelah seharian bekerja, Pak Tono berbincang dengan teman-temannya di pos ronda. Mereka berbicara tentang harga-harga kebutuhan pokok yang terus naik, dan bagaimana hidup semakin sulit. Salah satu temannya, Pak Slamet, bertanya, “Kira-kira, kalau subsidi BBM dihentikan, uangnya bisa dipakai buat apa ya?”
Pak Tono terdiam sejenak. Ia membayangkan bagaimana jika uang yang selama ini digunakan untuk subsidi BBM dialokasikan untuk hal lain. Misalnya, untuk memperbaiki jalan di desanya yang sudah rusak selama bertahun-tahun, atau untuk memperbaiki fasilitas kesehatan yang sering kali tidak memadai. Ia juga berpikir, mungkin pemerintah bisa menggunakan uang tersebut untuk memberikan bantuan langsung kepada masyarakat miskin seperti dirinya, sehingga mereka bisa bertahan hidup tanpa harus tergantung pada subsidi BBM yang lebih banyak dinikmati oleh orang kaya.
Malam itu, Pak Tono kembali ke rumah dengan banyak pikiran di kepalanya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan subsidi BBM di masa depan, tapi ia berharap bahwa pemerintah bisa menemukan solusi yang lebih adil. Solusi yang benar-benar membantu mereka yang membutuhkan, bukan hanya mereka yang mampu membeli lebih banyak BBM.
Mungkin di masa depan orang-orang seperti Pak Jaka akan mulai membayar harga BBM yang lebih sesuai dengan kemampuan mereka, sementara orang-orang seperti Pak Tono akan mendapatkan bantuan langsung yang lebih tepat sasaran. Dengan begitu, subsidi BBM benar benar bisa menjadi alat yang adil dan efektif untuk membantu masyarakat kecil, bukan hanya sekadar kebijakan yang menyenangkan sebagian kecil masyarakat yang mampu.