Lihat Semua : artikel

Solusi Nelayan: Membangun Koperasi dan Meningkatkan Akses BBM Bersubsidi


Dipublikasikan pada 3 months ago , Redaktur: Andrean W. Finaka, Riset : Redaksi SohIB / Desain : Redaksi SohIB /   View : 273

Nuruma Uli Nuha, S.Pi., M. Han

Kabupaten Malang, Jawa Timur

@nuruma_nu

Menggali Potensi Perikanan dan Tantangan Nelayan

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan wilayah perairan yang luas mencapai 3.257.483 km² atau sekitar 70% total wilayah Indonesia terdiri dari lautan, memiliki potensi besar dalam sektor perikanan tangkap. Produksi perikanan tangkap meningkat, mencapai lebih dari 8 juta ton pada 2023. Namun, di balik angka yang mengesankan ini, sektor perikanan masih berkontribusi rendah, hanya 2,73% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Pemerintah selalu berupaya mendorong pembangunan sektor ini, berharap potensi lautan yang begitu besar bisa dioptimalkan.

Di kawasan Sumbagut, yang terdiri dari lima provinsi—Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, dan Kepulauan Riau— juga memiliki potensi perikanan yang menjanjikan. Namun, pada 2020 pandemi Covid-19 menghantam sektor ini, menyebabkan produksi menurun drastis dari 1,3 juta ton menjadi 1,1 juta ton pada 2021. Pembatasan sosial yang diberlakukan, membuat distribusi hasil perikanan tangkap terganggu, dan nelayan merasakan dampaknya secara langsung. Analisis lebih lanjut mengungkapkan adanya disparitas jumlah nelayan antarprovinsi selama periode 2020-2022. Dimana tiga provinsi mencatat peningkatan jumlah nelayan, sementara dua provinsi lainnya mengalami penurunan. Meskipun sektor perikanan tangkap tetap produktif, penurunan jumlah tenaga kerja tidak bisa diabaikan. Tingginya biaya operasional, ketidakpastian akibat tantangan alam, dan kendala pemasaran menjadi faktor utama kendala nelayan pada sektor perikanan tangkap. 

Nelayan terbagi menjadi tiga golongan: nelayan buruh, nelayan juragan, dan nelayan perorangan. Pada 2018, jumlah nelayan mencapai 2,7 juta jiwa, namun mereka menyumbang 25% dari total angka kemiskinan di Indonesia. Para nelayan, khususnya nelayan buruh dan perorangan, berjuang melawan kemiskinan yang dipicu oleh dua masalah utama: ketimpangan akses terhadap teknologi dan modal. Modal yang dibutuhkan untuk melaut, terutama dalam pembelian bahan bakar menjadi beban berat, sementara keterbatasan teknologi menghambat mereka dalam memasarkan hasil perikanan. Melihat kenyataan ini, peran aktif pemerintah menjadi sangat penting. Diperlukan kebijakan yang lebih berpihak pada nelayan kecil agar taraf hidup mereka dapat meningkat. Hanya dengan dukungan yang tepat, ketahanan pangan nasional pun akan lebih mudah dicapai. 

Subsidi BBM yang Berkeadilan dan Efektif

Sekitar 60% biaya operasional saat melaut, tersedot untuk membeli bahan bakar minyak. Dalam hal ini, pemerintah telah berupaya mengalokasikan subsidi BBM bagi nelayan. Namun kenyataannya, distribusi subsidi sering kali tidak tepat sasaran, terutama bagi nelayan kecil. Pada 2021, di antara sepuluh provinsi dan dua puluh lima kabupaten/kota, 82,08% nelayan kecil tidak memiliki akses yang memadai terhadap BBM bersubsidi. Ketika akses terhadap BBM subsidi menjadi mimpi yang sulit dijangkau, nelayan kecil terpaksa beralih ke pedagang eceran. Harga yang mereka bayar jauh lebih mahal, seolah menambah beban yang sudah berat. Dari 2019 hingga 2021, realisasi penyaluran BBM subsidi di sektor perikanan hanya mencapai 26%, sebuah angka yang memprihatinkan. 

Sesuai dengan Peraturan Presiden No. 191 Tahun 2014, kapal ikan berukuran maksimal 30 GT yang terdaftar seharusnya berhak mendapatkan bahan bakar bersubsidi. Namun realitanya, banyak nelayan terhambat oleh panjangnya birokrasi dan kurangnya data yang teratur, membuat mereka kesulitan mendapatkan surat rekomendasi dari pelabuhan perikanan.

Harapan mulai muncul pada 2022, Kementerian Koperasi dan UKM menggandeng Kementerian Kelautan dan Perikanan, PT Pertamina Patra Niaga, dan BUMN lainnya untuk meluncurkan program inovatif bernama Solusi Nelayan – Solar untuk Koperasi. Program ini bertujuan untuk memfasilitasi akses BBM bersubsidi bagi para nelayan, dengan koperasi setempat berperan sebagai penyalur. Mereka mendirikan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum Nelayan (SPBUN) di wilayah pesisir, dengan sistem penyaluran menggunakan metode closed loop. Artinya, setiap nelayan yang tergabung menjadi anggota koperasi dan memiliki kapal <30 GT berhak mendapatkan kuota BBM subsidi sesuai ketentuan yang berlaku. Program ini telah berhasil mendirikan 409 SPBUN di seluruh Indonesia termasuk wilayah lain di Sumbagut. Program ini mulai membebaskan para nelayan dari jeratan tengkulak nakal serta perantara, memberi mereka kesempatan untuk lebih produktif dalam mencari nafkah.

Di Aceh Besar dan Deli Serdang, dua wilayah yang menjadi proyek percontohan, SPBUN telah beroperasi sejak tahun 2023. Program ini disambut antusias oleh koperasi setempat, memberikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi lokal dan memudahkan para nelayan mengakses bahan bakar. Namun, meski langkah ini membawa banyak manfaat, tantangan tetap ada. Kepala Koperasi Tunas Usaha Sejahtera di Aceh Besar, M. Hatta, mengungkapkan kendala dalam pembiayaan pembangunan SPBUN. Koperasi tidak mengambil simpanan wajib, karena keterbatasan keuangan para anggota. Sehingga modal didapatkan dari pihak ketiga. Ketergantungan pada modal pihak ketiga membuat keuntungan tidak terdistribusi secara adil, di mana koperasi hanya memperoleh 30%. Selain itu, kompleksitas birokrasi dan kendala geografis kerap menghambat akses nelayan terhadap BBM bersubsidi. 

Potensi program Solusi Nelayan untuk membantu nelayan kecil sangat besar. Skema Business to Business (B2B) yang diterapkan menawarkan peluang untuk menciptakan ekosistem yang saling mendukung. Tantangan modal dalam pembangunan SPBUN dapat diatasi dengan memanfaatkan bank sebagai lembaga peminjam modal, merupakan langkah strategis tetapi penting untuk memastikan bahwa aksesibilitas dan persyaratan pinjaman tidak memberatkan. Modal juga bisa didapatkan dari program hibah yang ditawarkan oleh pemerintah dan lembaga lain untuk membantu mensukseskan program ini.

Teknologi informasi juga dapat menjadi solusi untuk menyederhanakan birokrasi, memungkinkan proses perolehan Kartu Pelaku Usaha (KUSUKA) menjadi lebih mudah dan efisien, tanpa harus melalui serangkaian surat rekomendasi yang rumit. Implementasi KUSUKA yang terintegrasi dengan aplikasi My Pertamina akan mempermudah akses nelayan terhadap BBM bersubsidi, dan pendaftaran daring yang simpel akan meningkatkan efisiensi layanan. Penggunaan QR Barcode untuk pembelian BBM dapat dilakukan hanya bagi nelayan yang tidak memiliki gawai. Partisipasi aktif dari kampung nelayan dalam pengumpulan data seluruh nelayan setempat juga sangat penting membantu Kementerian KP dan Koperasi dalam memetakan sasaran subsidi. 

Selanjutnya, di tingkat Pemerintah pusat, solusi yang dapat ditawarkan adalah membuat kebijakan yang membatasi kepemilikan kapal di bawah 30 GT, sehingga distribusi BBM subsidi diharapkan menjadi lebih adil dan merata. Dukungan dalam bentuk kebijakan, pelatihan, dan akses informasi akan semakin memperkuat keberhasilan program ini. Jika semua ini berhasil, dampaknya tidak hanya akan dirasakan oleh nelayan kecil, tetapi juga akan berkontribusi pada ketahanan pangan dan perekonomian lokal. Mendorong kolaborasi antar sektor dapat membuka lebih banyak peluang untuk inovasi dan peningkatan kesejahteraan.