Lihat Semua : infografis
Jurnalisme Damai Untuk Rekonsilasi
Dipublikasikan pada 5 years ago , Redaktur: Andrean W. Finaka, Riset : Siap Bangun Negara / Desain : M. Ishaq Dwi Putra / View : 7.233 |
Indonesiabaik.id - Kita melihat belakangan bagaimana isu-isu provokatif, berita-berita palsu (hoax), dan pelbagai konten negatif lainnya beterbaran, dikonsumsi publik, sehingga kerap menciptakan pertikaian, bahkan konflik yang meluas di masyarakat. Tak sedikit bermunculan media-media provokatif dengan misi dari kelompok-kelompok tertentu, atau media-media yang hanya menebarkan sensasi dengan judul-judul bombastis untuk sekadar menarik perhatian pembaca dan mendulang keuntungan dari sana. Akhirnya, sebuah isu diberitakan tak berimbang, bahkan hanya memprovokasi masyarakat untuk menghakimi individu, kelompok, atau pihak tertentu. Akibatnya, masyarakat terseret dalam aliran cara pandang tak sehat, menuju kubangan gelap yang panas, penuh prasangka dan kebencian pada sesama, dan tak jarang berlanjut pada pertikaian, bahkan kekerasan dan perpecahan.
Melihat persoalan tersebut, maka pendekatan jurnalisme damai menjadi sangat relevan dipraktikkan setiap insan pers atau pekerja media. Jake Lynch (2008) menjelaskan, jurnalisme damai (peace journalism) adalah situasi ketika para editor dan reporter membuat pilihan mengenai apa yang akan dilaporkan dan bagaimana melaporkannya, yang menciptakan kesempatan bagi masyarakat luas untuk mempertimbangkan dan menilai tanggapan non-kekerasan terhadap konflik.
Arif Zaini dalam Kedaulatan Rakyat (27/2/2017), menjelaskan bahwa pendekatan jurnalisme yang dirumuskan oleh John Galtung, Rune Ottosen, Wilhem Kempt, dan Maggie O’Kane ini bertujuan menghindari atau mencegah terjadinya kekerasan di masyarakat. Pendekatan ini berprinsip membingkai laporan suatu kejadian lebih luas, lebih berimbang, dan lebih akurat dengan didasarkan pada informasi tentang konflik dan perubahan yang terjadi dengan mengarahkan penyampaian informasi yang berdampak pada perdamaian. Pelaksanaan jurnalisme damai didasari tekad dan komitmen insan pers, mulai dari redaktur sampai wartawan untuk memilih cara penyelesaian masalah secara damai.
Karena mengedepankan perdamaian, jurnalisme damai berupaya sebisa mungkin untuk menghindari kata-kata yang mengandung makna provokasi. Di samping itu, dalam konteks konflik, kekerasan, atau bahkan perang, jurnalisme damai lebih mengedepankan empati pada para korban, sehingga topik-topik yang dipilih sebagai bahan berita tak hanya memaparkan masalah, namun juga menawarkan solusi (AA Aziz: 2016). Kita tahu bahwa pers—melalui pemberitaannya tentang suatu konflik, berpotensi dua hal. Yakni menjernihkan persoalan dan meredam konflik atau malah meruncingkan konflik karena pemberitaan yang mungkin berat sebelah atau terlalu mengeksplorasi pertentangan di antara dua pihak. Di titik ini, jurnalisme damai membuat pers berperan bukan mempertajam konflik, namun sebagai peredam. Dengan kata lain, jurnalisme damai lebih mengedepankan harapan akan terwujudnya rekonsiliasi atas suatu konflik.