Lihat Semua : motion_grafis
[Motion Grafis] Fenomena Post-Truth di Era Keterbukaan Informasi
Dipublikasikan pada 5 years ago , Redaktur: Andrean W. Finaka, Riset : Abror Fauzi / Desain : Ananda Syaifullah / View : 7.078 |
Indonesiabaik.id - Era teknologi dan keterbukaan informasi membuat masyarakat bisa beropini atau menyuarakan pendapatnya dengan bebas. Menurut Everett M Rogers, dengan masifnya penggunaan internet sebagai media baru, membawa konsekuesi pergeseran karakter khalayak menjadi audience, khalayak tidak lagi menjadi objek pasif, namun dapat berperan menjadi produsen informasi (prosumer), masyarakat sebagai khalayak tidak lagi pada posisi objek yang dideterminasi media arus utama, tetapi lebih jauh dapat berperan memproduksi berita dan membentuk opini via patform media sosial.
Opini yang beredar terkadang dianggap menjadi sebuah berita benar oleh publik dengan mengesampingkan fakta dan data informasi yang objektif. Femonena tersebut dinamakan post-truth dan istilah tersebut pertama kali dipopulerkan oleh Steve Tesich melalui esainya pada harian The Nation tahun 1992.
Frasa post-truth awalnya dikenal di ranah politik saat kontes politik memperbutkan kursi parlemen dan/atau tujuan politik lain sehingga istilah ini disebut post-truth politics. Era post-truth dapat disebut sebagai pergerseran sosial spesifik yang melibatkan media arus utama dan para pembuat opini. Pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa semakin tipis pembatas antara kebenaran dan kebohongan, kejujuran dan penipuan, fiksi dan nonfiksi. Secara sederhana, post-truth dapat diartikan bahwa masyarakat lebih mencari pembenaran daripada kebenaran. Cara menanggulangi post-truth dapat dilakukan melalui literasi digital ke masyarakat luas.