Lihat Semua : infografis
GEBER Nol Perkawinan Anak di 2030
Dipublikasikan pada 4 years ago , Redaktur: Andrean W. Finaka, Riset : Siap Bangun Negara / Desain : M. Ishaq Dwi Putra / View : 4.119 |
Indonesiabaik.id - Masih banyak perempuan yang melangsungkan perkawinan dini sebelum usia 18 tahun. Kondisi ini dapat menghambat peningkatan pendidikan perempuan, mengancam kesehatan reproduksinya, dan anak-anak yang mereka lahirkan pun rentan bermasalah. Bagaimana kita mengatasi soal ini sampai tuntas?
Ya, dalam gagasan besar konsep pendidikan Ki Hajar Dewantara, pemimpin tak ubahnya seorang pamong, seperti pemimpin, pendidik atau guru. Pamong merupakan sebentuk konsep kepemimpinan mendidik yang memerdekakan anak manusia untuk bertindak menurut talenta dasar yang bersifat alamiah atau nature dan berdasarkan kekayaan pengetahuan atau keterampilan yang diperoleh melalui kepengasuhan, pendidikan di lingkungannya atau nurture-nya.
Nah, dalam konteks ini, terkait pernikahan anak atau di bawah umur baik secara nature maupun nurture, memiliki dampak yang tidak baik. Secara alamiah, bibitnya tak siap dan secara pengetahuan juga tingkat emosionalnya masih labil sehingga rentan terhadap konflik dan persoalan di kemudian hari yang ujung-ujungnya mempengaruhi tumbuh-kembang anak-anak mereka. Hal itu mengapa negara mesti terus menanggulangi pernikahan anak.
Terkait kasus pernikahan dini ini, kita patut prihatin. Ibaratnya, ketika negara-negara lain di dunia terus beradaptasi, berbenah, dan terus melaju berlari dalam menyongsong Revolusi Industri 4.0, kita masih menghadapi problem domestik banyaknya kasus pernikahan dini juga pernikahan anak. Padahal, anak-anak yang mereka lahirkan sekarang atau nanti, sejatinya yang akan menjadi tulang punggung bangsa dalam memasuki Indonesia Emas 2045.
Merujuk pada data, meski menurun, angka pernikahan anak di Indonesia masih relatif tinggi. Rata-rata 375 anak perempuan di bawah 18 tahun menikah setiap hari. Pernikahan anak ini berdampak pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang rendah. Sebab, sektor yang paling berpengaruh akibat pernikahan anak adalah pendidikan.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2018, persentase perempuan 20 hingga 24 tahun yang menikah sebelum usia 18 tahun sebesar 11,2 persen. Jumlah ini menurun 3,5 persen dalam kurun waktu sepuluh tahun. Persentase perkawinan anak tertinggi di Sulawesi Barat yakni sebesar 19,4 persen sedangkan terendah ada di DKI Jakarta sebesar 4,1 persen.
Nah, menilik begitu pentingnya persoalan ini, apakah ini akan kita abaikan begitu saja—di tengah narasi-narasi besar yang terus digelorakan pemerintah? Bagaimana mendorong agar ada upaya luar biasa untuk mengatasinya? Begitu krusialnya permasalahan ini bagi masa depan bangsa, terobosan apa yang mesti kita lakukan?
Pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode keduanya akan menitikberatkan pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Pembangunan SDM menjadi prioritas utama karena kita dihadapkan pada Puncak Bonus Demografi 2020-2030 dan Indonesia Emas 2045.Tanpa SDM yang sehat, unggul, dan cakap, dikhawatirkan, dua momentum emas itu akan pupus.
Namun, di tengah kerja keras atas upaya itu, kita dihadapkan pada problem masih tingginya angka pernikahan pada usia anak. Ini menjadi ancaman—mengingat mereka akan melahirkan calon-calon pemimpin dan penentu maju tidaknya bangsa di masa mendatang.
Dalam 11 tahun terakhir, prevalensi pernikahan usia anak di Indonesia menurun tapi lambat, yaitu 14 persen menjadi 11 persen. Sebagai gambaran, satu dari sembilan anak perempuan dan satu dari seratus anak laki-laki di bawah usia 18 tahun terlibat dalam pernikahan usia anak ini. Padahal, pemerintah menargetkan pada tahun 2030 tidak ada lagi pernikahan anak terjadi di Indonesia.
Menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (UNICEF), jika tak Ada percepatan pada 2030 Indonesia tidak bisa mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs poin kelima yakni menghilangkan praktik berbahaya terhadap anak.
Kepala Perwakilan UNICEF Perwakilan Indonesia Debora Comini mengatakan, Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen politik dalam pencegahan pernikahan usia anak. Hal ini dilihat dari adanya kebijakan untuk menanggulangi masalah ini. Namun, menurutnya dari segi implementasi masih lambat.
Lantas, menekan masih tingginya perkawinan anak–langkah percepatan apa yang mesti dilakukan? Salah satu Kendala utamanya adalah koordinasi antara kementerian, lembaga beserta pemerintah Pusat dan daerah, maka bagaimana mengkoordinasikan lembaga yang ada di era mobilisasi dan orkestrasi saat ini?
Guna mempercepat upaya pencegahan perkawinan anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) meluncurkan Gerakan Bersama Pencegahan Perkawinan Anak (Geber PPA). Gerakan ini melibatkan masyarakat, tokoh dan aktivis anak serta lintas kementerian. Dalam kesempatan itu, Kementerian PPPA juga meluncurkan Peta Jalan Pencegahan Perkawinan Anak. Peta Jalan dan Geber PPA diharapakan berjalan beriringan.