Lihat Semua : infografis

Menurunkan Angka Perkawinan Anak Demi Pembangunan Berkelanjutan


Dipublikasikan pada 4 years ago , Redaktur: Andrean W. Finaka, Riset : Siap Bangun Negara / Desain : Abdurrahman Naufal /   View : 5.069


Indonesiabaik.id   -   Tahukah SohIB bahwa Indonesia menempati ranking ke tujuh diantara sepuluh negara dengan jumlah perkawinan anak tertinggi di dunia, sementara di tingkat ASEAN berada pada urutan kedua setelah Kamboja.

Menurut Kepala Badan Perwakilan PBB untuk Anak-anak (UNICEF) Perwakilan Indonesia Debora Comini (Kompas, 4/2), dari 1.220.900 kasus perkawinan anak yang tercatat pada 2018, separuhnya terjadi di di Pulau Jawa, terbanyak di Jawa Barat (273.300 kasus).

Sedangkan Sulawesi Barat menempati persentase prevalensi tertinggi perkawinan anak (19,43 persen), diduga mengingat kedudukannya sebagai provinsi termuda, sehingga infrastruktur dan kebijakan pemdanya belum memadai untuk menanggulangi masalah ini.

Walau prevalensi perkawinan anak turun dalam kurun 11 tahun terakhir sejak 2009 dari 14 persen menjadi 11 persen, langkah lebih cepat perlu dilakukan karena berarti, satu dari sembilan anak perempuan atau satu dari 100 anak laki di bawah usia 18 tahun terlibat perkawinan anak.

Tanpa upaya percepatan aksi mencegah praktek perkawinan anak, kata Debora, Indonesia tidak bisa mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals-SDG) butir ke-5 yakni menghapuskan praktik berbahaya bagi mereka.

Walau pemerintah RI telah menunjukkan komitmen politik guna mencegah perkawinan usia anak, tercermin dari berbagai kebijakan yang diambil untuk menanggulanginya, menurut Debora, implementasinya masih lamban.

Debora melihat, lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah, sementara payung hukum seperti perubahan UU Perkawinan terkait batas usia minimum perkawinan anak perempuan dari 16 menjadi 19 tahun belum tersosialisasikan dengan baik.

Sementara Deputi Bidang Tumbuh Kembang Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan (KPPA), Leny Rosalin menilai, faktor penyebab perkawinan anak cukup beragam, paling banyak akibat kehamilan di luar nikah dan faktor ekonomi.

Orang tua yang anaknya hamil pranikah biasanya menuntut anaknya segera menikah demi menghindari gunjingan tetangga, sementara masyarakat kalangan menengah ke bawah cenderung menikahkan anaknya di usia dini demi mengurangi beban keluarga.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo pada periode keduanya akan menitikberatkan pada pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Pembangunan SDM menjadi prioritas utama karena kita dihadapkan pada Puncak Bonus Demografi 2020-2030 dan Indonesia Emas 2045.Tanpa SDM yang sehat, unggul, dan cakap, dikhawatirkan, dua momentum emas itu akan pupus.

Namun, di tengah kerja keras atas upaya itu, kita dihadapkan pada problem masih tingginya angka pernikahan pada usia anak. Ini menjadi ancaman—mengingat mereka akan melahirkan calon-calon pemimpin dan penentu maju tidaknya bangsa di masa mendatang.

Dalam 11 tahun terakhir, prevalensi pernikahan usia anak di Indonesia menurun tapi lambat, yaitu 14 persen menjadi 11 persen. Sebagai gambaran, satu dari sembilan anak perempuan dan satu dari seratus anak laki-laki di bawah usia 18 tahun terlibat dalam pernikahan usia anak ini. Padahal, pemerintah menargetkan pada tahun 2030 tidak ada lagi pernikahan anak terjadi di Indonesia.

Menurut Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (UNICEF), jika tak Ada percepatan pada 2030 Indonesia tidak bisa mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs poin kelima yakni menghilangkan praktik berbahaya terhadap anak.

Kepala Perwakilan UNICEF Perwakilan Indonesia Debora Comini mengatakan, Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen politik dalam pencegahan pernikahan usia anak. Hal ini dilihat dari adanya kebijakan untuk menanggulangi masalah ini. Namun, menurutnya dari segi implementasi masih lambat.

Lantas, menekan masih tingginya perkawinan anak–langkah percepatan apa yang mesti dilakukan? Salah satu Kendala utamanya adalah koordinasi antara kementerian, lembaga beserta pemerintah Pusat dan daerah, maka bagaimana mengkoordinasikan lembaga yang ada di era mobilisasi dan orkestrasi saat ini?



Infografis Terkait